Beberapa Permasalahan Terkait Perizinan Berusaha dalam Kerangka Kemudahan Berusaha
Muhammad Adiguna Bimasakti
Hakim PTUN Mataram
E-mail: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Abstrak:
Salah satu aspek pengaturan kemudahan berusaha di dalam Undang-Undang No. Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UUCK) adalah mengenai jenis-jenis perizinan berusaha. Munculnya jenis perizinan berusaha berupa pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar bagi usaha/kegiatan yang berkarakter tersendiri (sui generis) terhadap Izin tidak pernah dikenal sebelumnya dalam hukum perizinan di Indonesia. Dalam konteks perizinan berusaha yang baru tersebut terdapat beberapa permasalahan yang akan diuraikan dalam artikel ini, di antaranya mengenai inkonsistensi normatif dalam pemberian Sertifikat Standar, dan permasalahan teoretis mengenai dasar kewenangan Lembaga Online Single Submission (OSS) selaku lembaga yang berwenang memberikan perizinan berusaha. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif dengan data sekunder yakni berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan kamus hukum atau kamus umum yang relevan. Hasil yang ditemukan adalah terdapat ketidakpastian pengaturan kapankah Sertifikat Standar mulai berlaku, apakah berlaku sejak diterbitkan (Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) Jo. UUCK)) ataukah Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar (Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. UUCK). Kemudian mengenai dasar kewenangan Lembaga OSS pun tidak jelas karena ia diatur dalam Peraturan Pemerintah yang merupakan peraturan delegasi, tetapi isinya adalah norma mengenai mandat (untuk dan atas nama). Permasalahan ini juga terdapat dalam pelaksanaan perizinan berusaha di daerah oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Kata Kunci: Perizinan Berusaha; Kemudahan Berusaha; OSS; NIB; Sertifikat Standar.
Abstract
One aspect regarding the ease of doing business in Law no. 6 of 2023 concerning Job Creation (UUCK) is the types of business permits. The emergence of types of business permits in the form of Business Identification Numbers (NIB) and Standard Certificates for businesses/activities, which both have separate characters (sui generis) to License, have never been recognized before. In the context of the new types of business permits, there are several problems that will be described in this article, i.e., normative inconsistencies regarding Standard Certificates, and theoretical issues regarding the basis of authority for the Online Single Submission (OSS) Institution as the institution authorized to grant business permits. This article uses a legal-normative method with secondary data in the form of laws and regulations, literature, and relevant legal or general dictionaries. The results found are that there is uncertainty in the regulation regarding when the Standard Certificate comes into effect, whether it is valid since it was issued (Article 39 paragraph (3) of Law No. 30 of 2014 concerning Government Administration (UUAP) Jo. UUCK) or whether it is valid since the applicant declares a commitment to fulfill standard elements (Article 39 paragraph (7) UUAP Jo. UUCK). Then the basis of authority for the OSS Institution is also ambiguous because it is regulated in a Government Regulation which is theoretically regarded as a delegation, but in its content, it regulates norms regarding mandate (for and on behalf of). This problem is also found in the implementation of business permits in the regional government by the Investment and One-Stop Services Office.
Keywords: Business Permits; Ease of Doing Business; OSS; NIB; Standard Certificate.
- A.PENDAHULUAN
Kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur daya tarik investasi di suatu negara. Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat masih menempati urutan ke-73 dalam hal kemudahan berusaha / EoDB, padahal target peringkat EoDB Indonesia pada tahun 2021 adalah urutan ke-40. Salah satu indikator untuk mengukur EoDB yang digunakan Bank Dunia (World Bank) adalah pengurusan berbagai izin yang diperlukan untuk memulai usaha. Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang No. Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU CK) pun sebenarnya bertujuan untuk menunjang kemudahan berusaha di Indonesia, yang salah satunya dilakukan dengan penyederhanaan perizinan berusaha di Indonesia. Menurut Pasal 6 UU CK salah satu alat yang digunakan adalah pengaturan perizinan berusaha berbasis risiko (risk-based permits) (Megantara: 2021).
Pada ketentuan Pasal 7 UU CK, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dibagi menjadi tiga kategori yakni kegiatan usaha berisiko rendah, kegiatan usaha berisiko menengah atau kegiatan usaha berisiko tinggi. Bagi jenis usaha atau kegiatan berisiko rendah, maka jenis perizinan yang diperlukan cukup Nomor Induk Berusaha (NIB). Untuk usaha atau kegiatan berisiko menengah, maka jenis perizinan yang diperlukan adalah Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Standar. Sedangkan untuk usaha atau kegiatan berisiko menengah, maka jenis perizinan yang diperlukan adalah Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Izin (Nainggolan: 2022).
Sebelum munculnya UU CK, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) hanya mengatur tiga jenis perizinan yakni izin, dispensasi dan konsesi. Kemudian dalam Pasal 1 angka 19A UU AP sebagaimana diubah dalam Pasal 175 angka 1 UU CK, ditambahkan jenis perizinan bernama Standar yang berbeda dengan Izin, yakni di mana Standar merupakan jenis perizinan bagi usaha atau kegiatan yang telah terstandardisasi. Selain itu juga dalam Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK Standar berlaku sejak pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar, sedangkan dalam Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK Izin berlaku sejak diterbitkan oleh Pejabat atau badan yang berwenang. Jenis perizinan berupa pemberian Standar didefinisikan secara berbeda dari izin dalam Pasal 1 angka 19a UU AP. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Standar merupakan jenis perizinan (vergunning) yang berbeda dari Izin (licensie). NIB pun berbeda dengan Izin, maupun dispensasi atau konsesi, karena NIB merupakan bukti pendaftaran yang digunakan sebagai syarat legalitas yang sebenarnya juga merupakan bagian dari rezim hukum perizinan, meski pun di dalam Pasal 175 UU CK Jo. UU AP tidak diatur mengenai NIB sebagai jenis perizinan.
NIB dan Standar sebagai jenis keputusan pada umumnya harusnya terikat pada kaidah-kaidah mengenai keputusan. Misalnya mengenai kapankah NIB atau Standar dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) mengikat? Menurut Pasal 57 UU AP keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitannya. Dalam konteks Keputusan Standar (sertifikat standar) ternyata ditemukan antinomi kaidah hukum pada Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK dengan Pasal 39 ayat (3) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK. Dalam Pasal 60 UU AP pun diatur suatu keputusan memiliki kekuatan mengikat ketika diumumkan atau diterima oleh warga masyarakat. Artinya untuk keputusan berentang umum (besluiten van algemene strekking (Bimasakti: 2019)) maka ia mengikat sejak keputusan diumumkan dan bagi keputusan individual (beschikking) berlaku sejak diterima.
Di dalam Pasal 39 ayat (3) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK dijelaskan persetujuan berupa sertifikat standar diterbitkan sebelum dilaksanakan kegiatan/usaha. Sedangkan dalam Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK disebutkan Standar berlaku sejak pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar (Bimasakti: 2021). Dalam kaidah pertama, kegiatan yang memerlukan standar harus dilaksanakan setelah keputusan standar diterbitkan, dan ini berarti kaidah ini mengatur standar sebagai keputusan konstitutif (menetapkan hak). Namun di kaidah yang lain diatur standar berlaku sejak pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar, yang mana hal tersebut dibuat sebelum standar diterbitkan, sehingga semestinya pemohon sudah dapat melakukan usaha/kegiatannya sebelum standar diterbitkan, dan akhirnya keputusan standar hanya bernilai keputusan deklaratif saja. Oleh karena itu dapat dikatakan telah terjadi antinomi atau pertentangan norma di dalam internal UU CK dan hal ini membutuhkan harmonisasi.
Permasalahan terkait dengan perizinan berusaha di dalam UU CK adalah mengenai pelaksanaan kewenangan pemberian perizinan. Dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 13 ayat (2) dan seterusnya dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, penerbitan Sertifikat Standar diberikan kepada Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission (Lembaga OSS) sebagai pelaksanaan sistem perizinan terpadu secara online / dalam jaringan (Daring) pada pemerintahan pusat. Permasalahannya adalah kewenangan yang diberikan dalam PP No. 5 Tahun 2021 tersebut tidak jelas karena meski pun diatur melalui Peraturan Pemerintah yang merupakan dasar hukum pemberian kewenangan melalui delegasi (Pasal 13 UU AP) tetapi ternyata terdapat rumusan atas nama di dalamnya yakni pada Pasal 22 ayat (2) huruf b PP No. 5 Tahun 2021 berupa pelaksanaan wewenang atas nama Menteri/kepala Lembaga (Bimasakti dan Susetyo: 2021).
Permasalahan kewenangan ini ditemukan pula dalam pelaksanaan perizinan berusaha di daerah provinsi dan kabupaten/kota oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021. Pemberian kewenangan penerbitan perizinan di daerah oleh kepala daerah kepada DPMPTSP dilakukan dengan Peraturan Daerah (PERDA) yang merupakan peraturan perundang-undangan dan juga merupakan instrumen delegasi (Susanto: 2020), bukan instrumen kewenangan atas nama (keputusan). Dengan demikian artikel ini disusun guna menemukan pemecahan masalah yang tepat mengenai hal-hal di atas yang rumusan masalahnya akan diuraikan dalam bagian rumusan masalah.
Ada pun berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas maka artikel ini mengangkat beberapa rumusan permasalahan berikut:
- Bagaimana harmonisasi antinomi pengaturan keberlakuan Sertifikat Standar di dalam UU CK dalam kerangka kemudahan berusaha di Indonesia?
- Bagaimana penerapan pelaksanaan pemberian kewenangan penerbitan perizinan berusaha kepada Lembaga OSS dan DPMPTSP PP No. 5 Tahun 2021 dalam kerangka kemudahan berusaha di Indonesia?
- B.PEMBAHASAN
- 1.Antinomi Pengaturan Keberlakuan Sertifikat Standar di dalam UU CK dan Upaya Harmonisasinya
Sebagaimana telah diuraikan secara singkat, terdapat antinomi dalam pengaturan mengenai keberlakuan sertifikat standar di dalam pasal-pasal UU CK. Permasalahan antinomi ini muncul di dalam Pasal 39 ayat (2) dan ayat (7) UU AP sebagaimana diubah dengan Pasal 175 angka 5 UU CK. Ada pun alasan kenapa kedua norma ini merupakan antinomi adalah sebagai berikut:
- Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU AP menyatakan kegiatan yang membutuhkan Standar baru bisa dilaksanakan ketika standar sudah diterbitkan. Artinya keputusan Sertifikat Standar berlaku ketika sudah ditetapkan oleh pejabat/badan yang berwenang sebagaimana dijelaskan pula dalam Pasal 57 UU AP. Sedangkan di sisi lain Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU AP menyatakan Standar berlaku sejak saat pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar;
- Pernyataan Kesanggupan Pemenuhan Standar oleh Pemohon secara logika pasti dibuat sebelum standar diterbitkan, karena tidak mungkin standar diterbitkan tanpa adanya pernyataan dari pemohon tersebut. Pernyataan tersebut merupakan salah satu syarat dalam penerbitan standar. Bagaimana mungkin Standar berlaku sebelum Standar diterbitkan (berlaku surut – Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK), sedangkan kegiatan/usaha yang memerlukan standar tidak boleh dilaksanakan sebelum Sertifikat Standar diterbitkan (Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK)?
Hal ini terbukti dengan adanya definisi Sertifikat Standar di dalam Pasal 1 angka 13 PP No. 5 Tahun 2021, bahwa Sertifikat Standar merupakan pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha. Dengan demikian pernyataan kesanggupan pemenuhan elemen standar pasti dibuat sebelum Sertifikat Standar diterbitkan, karena pada dasarnya Sertifikat Standar merupakan bukti persetujuan atas pernyataan kesanggupan pemenuhan elemen standar tersebut. Berikut ini adalah alur penerbitan sertifikat standar menurut norma UU CK Jo. PP No. 5 Tahun 2021:
Gambar 1. Alur Penerbitan Sertifikat Standar
Dari kedua hal tersebut maka timbul pertanyaan, norma manakah yang berlaku? Terdapat dua skenario yang bertentangan satu sama lain yang dapat dijadikan acuan:
- Pertama, apakah kegiatan yang dilaksanakan sebelum standar terbit dapat dikatakan sebagai kegiatan illegal karena dilakukan tanpa ada perizinan yang diwajibkan berupa standar? Atau kah
- Kedua, apakah kegiatan tersebut dianggap legal karena di kemudian hari sertifikat standar yang akan diterbitkan berlaku surut sejak saat pemohon membuat pernyataan kesanggupan pemenuhan elemen standar?
Dalam Pasal 57 UU AP memang dimungkinkan adanya keputusan yang berlaku surut sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK mengatur Standar berlaku sejak saat pemohon membuat pernyataan pemenuhan elemen standar. Namun yang jadi permasalahan adalah Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK mengatur bahwa keputusan standar diterbitkan sebelum kegiatan yang memerlukan standar dilaksanakan. Hal ini dapat ditafsirkan secara a contrario (Purwaka: 2011) bahwa kegiatan yang memerlukan standar baru bisa dilaksanakan setelah Standar diterbitkan pejabat/badan yang berwenang, karena Standar diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan.
Dalam kaidah penafsiran hukum, ketika ada dua kaidah hukum yang bertentangan satu sama lain, maka dapat digunakan preferensi hukum berupa:
- Pertama, Lex Superior Derogat Legi Priori, atau hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah;
- Kedua, Lex Specialis Derogat Legi Generalis atau hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum;
- Ketiga, Lex Posterior Derogat Legi Priori atau hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum yang lama. (Irfani: 2020).
Ketiga preferensi hukum tersebut harus digunakan secara bertingkat, mulai dari yang pertama, lalu yang kedua dan terakhir ketiga. Jika suatu norma sama tinggi kedudukannya (misalnya sama-sama pada level undang-undang), maka gunakan yang kedua. Jika ternyata keduanya sama-sama ketentuan hukum yang bersifat umum atau sama-sama khusus, maka gunakan yang terakhir untuk melihat kebaruannya.
Permasalahannya dalam hal ini, antinomi atau pertentangan norma justru terjadi dalam pasal-pasal di dalam undang-undang sehingga tidak relevan menggunakan preferensi hukum yang pertama (lex superior). Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK bertentangan dengan Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK mengenai kapankah Standar mulai berlaku (mengikat secara hukum). Dengan demikian, Penulis akan melihat apakah preferensi norma kedua (lex specialis) dan ketiga (lex posterior) dapat diterapkan.
Ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK sama-sama mengatur mengenai Standar sehingga keduanya sama-sama norma yang bersifat umum. Kemudian, dari segi kebaruan pun keduanya pasti berumur sama karena sama-sama diundangkan dalam satu lembaran negara yang sama yakni Lembaran Negara Tahun 2014 No. 292. Dengan demikian preferensi hukum tidak dapat digunakan untuk mengharmonisasi antinomi hukum dalam Pasal 39 ayat (2) dan ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK. Lalu apa sekiranya penafsiran atau argumentasi hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah antinomi hukum ini?
Penulis sendiri cenderung menggunakan metode pengesampingan hukum (disavowal) (Taqiuddin: 2017) ketimbang menggunakan preferensi hukum di atas. Lalu norma yang mana kah yang akan dikesampingkan? Jika menggunakan penafsiran sistematis (Mertokusumo dan Pitlo: 1993), maka Penulis cenderung menggunakan norma Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK karena ia sejalan dengan Pasal 57 UU AP, yakni keputusan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dengan demikian Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK yang menyatakan Standar mulai berlaku sejak Pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar dikesampingkan (disavowed) dan hanya menjadi norma yang tertidur. Dengan adanya pengesampingan terhadap Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK maka kegiatan/usaha yang memerlukan Sertifikat Standar hanya boleh dilaksanakan setelah terbitnya Sertifikat Standar yang diperlukan. Kemudian hal ini juga sejalan dengan kaidah daya ikat secara hukum dari keputusan. Dalam Pasal 60 UU AP pun diatur suatu keputusan memiliki kekuatan mengikat ketika diumumkan atau diterima oleh warga masyarakat. Artinya untuk Sertifikat Standar selaku keputusan individual (beschikking) berlaku sejak saat keputusan berupa Sertifikat Standar diterima.
- 2.Permasalahan Pemberian Kewenangan Lembaga OSS dan DPMPTSP dalam Perizinan Berusaha
- a.Dasar Perolehan Kewenangan
Sebelum membahas dasar perolehan kewenangan harus diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud kewenangan. Dalam Pasal 1 angka 5 UU AP Jo. Pasal 175 angka 1 UU CK, kewenangan adalah kekuasaan badan/pejabat pemerintahan untuk bertindak dalam ranah hukum publik, yang artinya UU AP dan UU CK menjumbuhkan kewenangan dengan kekuasaan pemerintahan (executive/administratieve macht). UU AP juga membedakan antara kewenangan dan wewenang. Dalam Pasal 1 angka 5 UU AP Jo. Pasal 175 angka 1 UU CK, wewenang adalah hak badan/pejabat pemerintahan untuk membuat keputusan dan/atau Tindakan. Dalam teori sebenarnya kewenangan atau kekuasaan kemudian dijabarkan menjadi wewenang-wewenang. Sehingga, sebagaimana disampaikan Prajudi Atmosudirjo dapat disimpulkan bahwa kewenangan atau kekuasaan pemerintahan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang yang sejenis (Atmosudirjo: 1994). Dengan demikian sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan antara kewenangan dan wewenang.
Dalam Pasal 11 UU AP diatur bahwa kewenangan dapat diperoleh secara atribusi, delegasi mau pun mandat. Atribusi adalah kewenangan yang bersifat asli/original yang diberikan oleh pembuat undang-undang atau konstitusi selaku perwakilan rakyat selaku pemegang kedaulatan (Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945), sehingga dasar pemberian kewenangan atributif harus berdasarkan undang-undang atau UUD (Pasal 12 ayat (1) UU AP). Tidak boleh suatu peraturan di bawah undang-undang memberikan kewenangan di luar dari penjabaran atas kewenangan yang telah ada di dalam undang-undang atau UUD. Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya bisa mendelegasikan suatu kewenangan atribusi hanya jika undang-undang atau UUD membolehkan suatu kewenangan atributif didelegasikan (Pasal 12 ayat (3) UU AP). Delegasi merupakan kewenangan yang bersifat pelimpahan kewenangan (Pasal 13 ayat (2) UU AP). Sebagai contoh, kewenangan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945 berada di tangan Presiden, sehingga presiden melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden dapat mendelegasikan kewenangan atributif yang ada padanya, misalnya dengan mendelegasikannya kepada menteri, atau kepada lembaga pemerintah non kementerian, dan sebagainya. Tanggung gugat dan tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan atributif atau delegatif berada pada Pejabat atau badan yang melaksanakan kewenangan tersebut. Kemudian pemilik kewenangan atributif mau pun delegatif dapat memberikan mandat atau penugasan kepada pejabat/badan di bawahnya atau merupakan pelaksanaan tugas rutin, dalam hal pejabat definitif berhalangan maka ditunjuklah pelaksana harian (jika berhalangan sementara) atau pelaksana tugas (jika berhalangan tetap) (Pasal 14 ayat (1) dan dan (2) UU AP). Tanggung gugat dan tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan mandat berada pada Pejabat atau badan yang memberikan kewenangan mandat tersebut (Pasal 14 ayat (8) UU AP).
Sebenarnya selain ketiga kewenangan tersebut ada pula kewenangan diskresioner, yakni yang dapat digunakan ketika terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (Pasal 1 angka 9 UU AP) yang syaratnya diatur dalam Pasal 22-24 UU AP. Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945 tidak mungkin memiliki kewenangan diskresioner, karena seluruh kewenangan administratif/pemerintahannya telah terangkum dalam Pasal 4 UUD 1945.Sehingga meski pun undang-undang tidak secara tegas memberikan suatu kewenangan tertentu kepada presiden tetapi secara atributif ia memiliki kewenangan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Dapat pula disimpulkan bahwa pada dasarnya semua kewenangan pemerintahan berada di tangan presiden secara atributif, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang (atribusi lain), atau didelegasikan sendiri oleh presiden melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Begitu pula dengan pemerintahan daerah otonom, maka dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan daerah otonom berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 maka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah oleh kepala daerah otonom bersifat atributif. Kecuali ada delegasi dari pejabat/badan pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan pusat. Bagir Manan menyatakan dalam otonomi daerah bukan hanya terjadi penyebaran wewenang (Sprieding van Bevoegdheden), tetapi juga pemisahan kekuasaan antara pusat dan daerah (Scheiding van Machten) (Manan: 2001).
Dalam norma-norma Perolehan kewenangan di atas juga sebenarnya banyak sekali permasalahan, salah satunya adalah mengenai dasar perolehan kewenangan delegatif, yang menurut Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP hanya dapat diberikan dengan peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau pun peraturan daerah. Permasalahannya adalah bagaimana jika Menteri A memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang, kemudian hendak mendelegasikannya kepada pejabat atau badan lain? Apakah pelimpahan delegasinya harus dengan peraturan pemerintah/peraturan presiden/peraturan daerah? Hal ini tentu tidak logis mengingat pejabat yang dapat melakukan delegasi adalah pejabat yang memiliki kewenangan secara atribusi, bukan pejabat lainnya. Meski pun Menteri berkedudukan secara ketatanegaraan di bawah presiden (Pasal 17 UUD 1945), tetapi secara hukum administrasi negara kedudukan mereka mandiri satu sama lainnya sebagai jabatan terpisah. Semestinya Ketika Menteri tersebut memiliki kewenangan tertentu maka delegasinya pun harus diberikan melalui peraturan Menteri selaku produk peraturan perundang-undangan yang dibuat menteri, bukan peraturan presiden atau peraturan pemerintah yang dibuat oleh Presiden. Kewenangan atribusi Menteri secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan secara khusus di dalam undang-undang sektoral misalnya seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan.
Dari sekelumit penjabaran di atas maka tidak bisa sembarangan mengatakan suatu kewenangan bersumber dari atribusi, delegasi atau mandat. Semua ada dasar hukum dan pertanggungjawabannya, sesuai asas geen veraantwoordelijkheid zonder bevoegdheid (tiada pertanggungjawaban tanpa adanya kewenangan) (Arsitoni, 2014). Dalam konteks pemberian kewenangan kepada Lembaga OSS (untuk perizinan berusaha di pusat) dan kepada DPMPTSP (untuk perizinan berusaha di daerah) maka harus ditelaah benar-benar, apakah pemberian kewenangan dalam PP No. 5 Tahun 2021 tersebut bersifat delegasi atau mandat, karena meskipun diberikan melalui peraturan pemerintah tetapi mengandung unsur atas nama (a.n.) yang merupakan ciri dari kewenangan mandat (Pasal 15 ayat (4) UU AP).
Saat ini perizinan elektronik diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang mana peraturan pemerintah berdasarkan Pasal 13 ayat (2) hururf b UU AP merupakan peraturan delegasi. Dalam Pasal 22 ayat (2) PP No. 5 Tahun 2021 tersebut diatur Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh: a. Lembaga OSS; b. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga; c. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur; d. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota. Hal ini tentu menjadi masalah karena dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b dan c PP No. 5 Tahun 2021 tersebut terdapat kewenangan atas nama bagi Lembaga OSS dan DPMPTSP sedangkan pemberian kewenangan tersebut dilakukan lewat peraturan pemerintah yang merupakan instrumen hukum bagi pemberian kewenangan delegasi, bukan mandat. Atau apakah justru hal ini bukan sama sekali delegasi atau mandat?
Selain melalui atribusi atau delegasi atau mandat, dalam UU AP dikenal suatu jenis pemberian penugasan yang dikenal dengan nama Bantuan Kedinasan, yang diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 7 ayat (2) huruf e, dan Pasal 35-37 UU AP. Rumusan bantuan kedinasan ini mirip dengan mandat, hanya saja jika mandat diberikan dalam konteks pelaksanaan tugas rutin Ketika pejabat definitif berhalangan tetap (dengan penunjukan pelaksana tugas oleh atasan) atau berhalangan sementara (dengan penunjukan pelaksana harian oleh pejabat definitif yang berhalangan sementara itu). Sedangkan bantuan kedinasan dapat diberikan oleh pejabat atau badan mana pun dan merupakan kewajiban setiap pejabat untuk memberi bantuan kedinasan jika memang memungkinkan (Pasal 7 ayat (2) UU AP).
- b.Permasalahan Pemberian Kewenangan Kepada Lembaga OSS
Berdasarkan Pasal 12 ayat (3) UU AP, kewenangan atribusi yang berdasarkan UU atau UUD tidak boleh didelegasikan kecuali diatur dalam UU atau UUD. Dengan demikian sebenarnya pemberian kewenangan Lembaga OSS melalui PP dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a dan b PP No. 5 Tahun 2021 adalah delegasi. Dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b PP No. 5 Tahun 2021 tersebut seolah memberikan delegasi dari pejabat yang berwenang yakni Menteri/Kepala Lembaga kepada Lembaga OSS di Kementerian Investasi/BKPM. Namun ternyata dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b PP No. 5 Tahun 2021 diatur Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga. Jadi apakah kewenangan tersebut bersifat delegatif sesuai bentuk pengaturan hukumnya yakni PP (vide Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP), atau sesuai bentuk kewenangannya yang merupakan kewenangan atas nama (mandat)?
Jika ditinjau dari segi logika hukum, maka akan ditemukan beberapa argumentasi di bawah ini:
- Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP, delegasi hanya dapat diberikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah. Artinya, pemberian wewenang dari Menteri/Kepala Lembaga harus berdasarkan tingkat pemerintahannya. Tidak mungkin Menteri memberikan delegasi melalui Peraturan Pemerintah, melainkan harus melalui Peraturan Menteri/Lembaga;
- Dalam undang-undang sektoral, misalnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU MINERBA) sebagaimana diubah dalam UU CK, tidak ada isyarat delegasi/pelimpahan wewenang dari pemilik wewenang asli (atribusi) kepada Lembaga OSS di Kementerian Investasi/BKPM. Dalam UU MINERBA hanya ada delegasi dari menteri kepada pemerintah daerah provinsi (Pasal 15 dan 139 ayat (3)), bupati/walikota kepada camat (Pasal 67), dan menteri kepada pemerintah kabupaten/kota (Pasal 140 ayat (2)). Sehingga PP No. 5 Tahun 2021 bertentangan dengan Pasal 12 ayat (3) UU AP;
- Pasal 22 ayat (2) PP No. 5 Tahun 2021 mengatur bahwa Lembaga OSS menjalankan kewenangan pemberian perizinan berusaha atas nama Menteri/Kepala Lembaga. Sehingga menurut Pasal 14 ayat (4) UU AP hal ini merupakan ciri utama dari pelaksanaan wewenang mandat;
Berdasarkan ketiga argumentasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian kewenangan delegasi Lembaga OSS dalam PP No. 5 Tahun 2021 cacat yuridis. Jika menganut pendekatan teori dari Hadjon, maka delegasi yang cacat demikian harus dianggap sebagai pseudo-delegatie atau Delegasi semu, yang hanya akan bernilai sama dengan Mandat (Hadjon: 1997). Dengan demikian karena Lembaga OSS hanya menjalankan kewenangan berdasarkan mandat, maka menurut Pasal 14 ayat (8) UU AP, pertanggungjawabannya tetap ada pada pemberi Mandat, yakni Menteri/Kepala Lembaga sesuai kewenangannya. Namun pada kenyataannya pelaksanaan pemberian perizinan oleh Lembaga OSS bukan dalam konteks mandat karena Lembaga OSS tidak berkedudukan menggantikan Menteri/kepala Lembaga sebagai pejabat definitif melainkan hanya membantu pelaksanaan pemberian perizinan karena di dalam kementerian tidak terdapat sumber daya manusia mau pun teknologi yang memadai untuk pelaksanaan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, sesuai syarat bantuan kedinasan dalam Pasal 35 UU AP. Dengan demikian sesungguhnya lebih tepat jika pelaksanaan pemberian perizinan oleh Lembaga OSS adalah bentuk dari kerja sama antar Lembaga pemerintahan di pusat (antara kementerian/Lembaga yang berwenang menerbitkan perizinan dengan Lembaga OSS). Semestinya selain pengaturan dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b PP No. 5 Tahun 2021, maka kementerian/Lembaga yang berwenang menerbitkan perizinan harus membuat kesepakatan bantuan kedinasan dengan Lembaga OSS sesuai ketentuan dalam UU AP.
Dalam kasus pemberian kewenangan delegasi Lembaga OSS dari kementerian/kepala Lembaga maka cacat yuridis dalam pemberian kewenangan dapat menyebabkan delegasi tidak bernilai/tidak sah (niet rechtsgeldige) karena kesalahan atau cacat yuridis (juridisch gebreken) bersifat substantif atau esensial, yakni perihal cacat kehendak (wilsgebreken). Memang cacat kehendak yang dimaksud bukan berasal dari salah kira (dwaling), paksaan (geweld) dan tipuan (bedrog) sebagaimana cacat yuridis dalam Tindakan hukum pada umumnya yang diadopsi dari ketentuan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) (Utrecht: 1964). Cacat yuridis yang penulis maksud adalah ketiadaan kehendak sama sekali akibat paksaan (bukan paksaan kekerasan seperti Pasal 1321 KUH Perdata).
Paksaan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang juga diadopsi dalam hukum administrasi negara sebagai syarat cacat kehendak dalam penetapan keputusan sebenarnya adalah Paksaan yang bersifat ancaman kekerasan (geweld). Sedangkan paksaan yang dimaksud penulis dalam konteks pemberian kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga kepada Lembaga OSS adalah paksaan biasa yang politis bukan paksaan kekerasan (dwang bukan geweld). Paksaan yang dimaksud adalah paksaan dari presiden melalui peraturan pemerintah kepada Menteri/Kepala Lembaga untuk memberikan kewenangannya kepada Lembaga OSS. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada sama sekali kehendak Menteri/Kepala Lembaga untuk mendelegasikan kewenangannya kepada Lembaga OSS kecuali telah diterbitkan Peraturan Menteri/Lembaga yang mendelegasikan secara tegas. Sehingga sempurnalah pemberian delegasi tersebut yakni diberikan dengan peraturan pemerintah (sesuai Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP) dan ditegaskan dengan adanya peraturan menteri/ Lembaga sebagai penegasan kehendak pemberian delegasi. Dengan demikian apabila telah ada delegasi melalui peraturan menteri/ Lembaga kepada Lembaga OSS maka telah terjadi delegasi yang sempurna dan tanggung jawab beralih kepada Lembaga OSS.
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Tergugat adalah pejabat/badan yang menerbitkan keputusan berdasarkan kewenangan yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya, yakni berarti dalam konteks kewenangan atribusi atau delegasi, bukan mandat atau bantuan kedinasan. Dalam konteks pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) jika dikaitkan dengan konstruksi kewenangan yang ada pada Lembaga OSS sebagai pemberi bantuan kedinasan, maka yang didudukkan sebagai Tergugat di Peradilan TUN adalah Penerima Bantuan Kedianasan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU AP yang memiliki wewenang dari atribusi atau pun delegasi, yakni Menteri/Kepala Lembaga sesuai kewenangannya, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan atau dalam kesepakatan tertulis para pihak. Namun jika kewenangan delegasi diberikan melalui peraturan menteri/ Lembaga maka ia menjadi delegasi sempurna dan dengan demikian yang menjad Tergugat di pengadilan adalah Lembaga OSS selaku penerima mandat sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.
- c.Permasalahan Pemberian Kewenangan Kepada DPMPTSP di Daerah
Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021 memberikan kewenangan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk pemberian perizinan berusaha di daerah, atas nama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota tergantung tingkat pemerintahannya). Dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021 tersebut seolah memberikan delegasi dari pejabat yang berwenang yakni Gubernur atau Bupati/Walikota kepada DPMPTSP. Namun ternyata dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021 diatur Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh DPMPTSP atas nama Gubernur atau Bupati/Walikota. Jadi apakah kewenangan tersebut bersifat delegatif sesuai bentuk pengaturan hukumnya yakni PP (vide Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP), atau sesuai bentuk kewenangannya yang merupakan kewenangan atas nama (mandat)?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP, yakni menggunakan peraturan daerah sebagai peraturan yang mendelegasikan kewenangan Gubernur atau Bupati/Walikota kepada DPMPTSP. Sehingga dasar hukum delegasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota kepada DPMPTSP bukan lagi Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021 tetapi peraturan daerah setempat. Dengan demikian karena DPMPTSP menjalankan kewenangan berdasarkan delegasi, maka menurut Pasal 14 ayat (8) UU AP, pertanggungjawabannya tetap ada pada penerima delegasi, yakni DPMPTSP. Oleh karena itu Keputusan yang diterbitkan oleh DPMPTSP sebagai pelaksanaan delegasi dari kepala daerah tidak perlu menggunakan atas nama.
Hal ini jelas berbeda dengan pemberian kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga kepada Lembaga OSS di atas. Pemberian kewenangan dari Gubernur atau Bupati/Walikota kepada DPMPTSP tidak menggunakan Pasal 22 ayat (2) huruf c dan d PP No. 5 Tahun 2021 tetapi menggunakan peraturan daerah setempat. Sedangkan sebagaimana dijelaskan di atas, pemberian kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga kepada Lembaga OSS diberikan hanya dengan Pasal 22 ayat (2) huruf b PP No. 5 Tahun 2021 saja. Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah menurut Pasal 212 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana terakhir diubah dalam Pasal 176 UU CK yang juga sekaligus memberikan kewenangan delegasi tentunya, harus diatur dengan Peraturan Daerah, bukan peraturan kepala daerah.
Peraturan kepala daerah tidak boleh disamakan dengan peraturan daerah. Materi muatannya pun berbeda karena menurut Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), peraturan daerah berisi pengaturan mengenai berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan materi muatan peraturan kepala daerah tidak diatur. Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibentuk bersama antara kepala daerah dengan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), sedangkan peraturan kepala daerah dibuat secara mandiri oleh kepala daerah tanpa melibatkan DPRD. Bukti bahwa peraturan daerah dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP tidak bisa disamakan dengan peraturan kepala daerah adalah ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Di sana diatur bahwa pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan lain yang dimaksud adalah peraturan kepala daerah sesuai tingkatannya, yakni peraturan gubernur, peraturan bupati/walikota sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPP. Selain itu menurut Pasal 86 ayat (2) UU PPP, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
Dengan ini maka timbul pertanyaan baru, apakah pemberian kewenangan delegasi dari kepala daerah kepada DPMPTSP melalui peraturan kepala daerah dapat dikatakan cacat yuridis? Jawaban singkatnya adalah benar bahwa pemberian kewenangan delegasi dari kepala daerah kepada DPMPTSP melalui peraturan kepala daerah dapat dikatakan cacat yuridis. Namun hendaknya cacat yuridis ini disikapi secara bijak dengan melihat esensi dari cacat yuridis yang dimaksud. Sebagaimana telah dijelaskan konteks cacat yuridis dalam pemberian kewenangan kepada Lembaga OSS adalah cacat yang esensial karena terkait dengan ketiadaan kehendak. Dengan demikian harus pula ditelaah apakah pemberian kewenangan delegasi dari kepala daerah kepada DPMPTSP melalui Peraturan kepala daerah mengakibatkan ketiadaan kehendak kepala daerah? Jawabannya tentu tidak, karena peraturan kepala daerah itu diterbitkan sendiri oleh kepala daerah selaku pemilik kewenangan atribusi. Oleh karena itu pemberian kewenangan delegasi dari kepala daerah kepada DPMPTSP melalui peraturan kepala daerah adalah sah, sampai dinyatakan batal oleh pejabat yang berwenang, atau melalui putusan Mahkamah Agung dengan permohonan pengujian yudisial (vide Pasal 39A Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Pasal 9 ayat (2) UU PPP).
Pemberian kewenangan delegasi melalui peraturan kepala daerah memang cacat formil karena dasar kewenangan pemberian delegasi yang diatur dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP diberikan kepada peraturan daerah bukan peraturan kepala daerah. Dengan demikian maka jika ada peraturan kepala daerah yang mengatur pemberian kewenangan delegasi hendaknya dicabut oleh kepala daerah yang bersangkutan, atau diuji secara yudisial di Mahkamah Agung kepada Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP. Jika tidak ada pembatalan peraturan kepala daerah tentang pemberian kewenangan delegasi dari kepala daerah kepada DPMPTSP maka peraturan tersebut tetap dianggap sah sampai dibatalkan sesuai asas presumptio justae causa atau praduga keabsahan (rechtmatige) (Indroharto: 2004).
Hakim Tata Usaha Negara mau pun pejabat/badan pemerintahan pada umumnya tidak bisa mengesampingkan peraturan kepala daerah yang menjadi dasar kewenangan tersebut, karena akibatnya justru fatal. Jika peraturan kepala daerah yang menjadi dasar kewenangan tersebut dikesampingkan oleh hakim atau pejabat/badan pemerintahan maka tidak ada lagi dasar kewenangan DPMPTSP melaksanakan kewenangan pemberian perizinan di daerah. Hal ini malah menyebabkan Keputusan yang dimaksud menjadi tidak sah (batal mutlak – absolute nietig) karena dianggap diterbitkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Padahal dasar kewenangannya (PP No. 5 Tahun 2021 dan Peraturan Kepala Daerah terkait) masih berlaku memiliki daya ikat (rechtskracht) dan berdaya guna (geltung). Oleh karena itu hakim tidak bisa mengesampingkan dasar hukum kewenangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tergugat adalah pejabat/badan yang menerbitkan keputusan berdasarkan kewenangan yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya, yakni berarti dalam konteks kewenangan atribusi atau delegasi, bukan mandat. Dalam konteks pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) jika dikaitkan dengan konstruksi kewenangan yang ada pada DPMPTSP sebagai penerima delegasi, maka yang didudukkan sebagai Tergugat di Peradilan TUN adalah Penerima Delegasi, yakni DPMPTSP. Hal ini berlaku baik pemberian kewenangan delegasi dilakukan dengan peraturan daerah mau pun peraturan kepala daerah.
- C.PENUTUP
Perizinan berusaha dalam UU CK dibuat secara basis risiko yakni jika risiko usaha/kegiatan terkategori rendah maka cukup dengan NIB, jika kategori menengah maka cukup dengan NIB dan Standar, sedangkan jika risiko tinggi maka memerlukan NIB dan Izin. Pelaksanaan perizinan berusaha terintegrasi dalam UU CK dan PP No. 5 Tahun 2021 ternyata banyak menimbulkan masalah. Beberapa di antaranya adalah mengenai keberlakuan sertifikat standar dan mengenai kewenangan Lembaga OSS dan DPMPTSP. Mengenai waktu keberlakuan Standar, terdapat antinomi dalam Pasal 39 ayat (2) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK yang menyatakan standar diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan, sedangkan dalam Pasal 39 ayat (7) UU AP Jo. Pasal 175 angka 5 UU CK diatur bahwa standar berlaku sejak pemohon menyatakan kesanggupan pemenuhan elemen standar yakni sebelum persetujuan standar diterbitkan. Melalui artikel ini dapat disimpulkan bahwa jika dibaca secara sistematis dengan Pasal 57 UU AP kegiatan/usaha yang memerlukan standar hanya boleh dilaksanakan setelah persetujuan sertifikat standar diterbitkan. Mengenai Kewenangan Lembaga OSS dalam pemberian perizinan berusaha menurut PP No. 5 Tahun 2021 maka tergantung dari teknis pelaksanaannya. Jika ternyata Menteri/Kepala Lembaga yang berwenang telah menerbitkan Peraturan Menteri/Lembaga pendelegasian kepada Lembaga OSS maka pelaksanaan kewenangan oleh Lembaga OSS dapat dikatakan sebagai kewenangan delegasi. Jika tidak ada Peraturan Menteri/Lembaga pendelegasian kepada Lembaga OSS maka pelaksanaan kewenangan pemberian izin oleh OSS dapat dianggap sebagai bantuan kedinasan. Sehingga hendaknya jika bentuknya adalah bantuan kedinasan segera dibuat kesepakatan tertulis antara Menteri/Kepala Lembaga dengan Lembaga OSS terkait pelaksanaan pemberian perizinan berusaha sebagai pelaksanaan Pasal 22 ayat (2) PP No. 5 Tahun 2021. Mengenai Kewenangan DPMPTSP dalam pemberian perizinan berusaha di daerah menurut PP No. 5 Tahun 2021 maka akan selalu bernilai delegasi karena DPMPTSP selaku organisasi perangkat daerah dibentuk dengan peraturan daerah menurut Pasal 212 ayat (1) UU PEMDA. Sehingga kewenangan DPMPTSP tidak bisa dianggap sebagai mandat.
DAFTAR PUSTAKA
- A.Buku
Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994.
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Hukum Acara dan Wacana Citizen Lawsuit Pasca UU Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2019.
_______. dan Heru Susetyo. Aspek-Aspek Hukum Dalam Pelayanan Publik Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta.: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII., 2001.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2011.
Megantara, Aldwin Rahadian. Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam Sudut Pandang Hukum Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Deepublish, 2021.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Utrecht, E. Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Ketujuh. Jakarta: Ichtiar, 1964.
- B.Artikel Jurnal
Aristoni. (2014). Tindakan Hukum Diskresi dalam Konsep Welfare State Perspektif Hukum Administrasi Negara dan Hukum Islam. Jurnal Penelitian, 8(2), 221-246. http://dx.doi.org/10.21043/jupe.v8i2.834
Bimasakti, Muhammad Adiguna. (2021). Beberapa Kesalahan Konseptual pada UU Cipta Kerja Menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jurnal Hukum Peratun. 4(1), 45-66. https://doi.org/10.25216/peratun.412021.45-66
Hadjon, Philipus M. (1997). Tentang Wewenang. Jurnal Yuridika, 7(5), 1-9. https://doi.org/10.20473/ydk.v7i5-6.5769
Irfani, Nurfaqih. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia. 16(3), 305-325. https://doi.org/10.54629/jli.v17i3.711
Nainggolan, Indra Lorenly. (2022). Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pemanfaatan Perairan Pesisir Paska UU Cipta Kerja. Jurnal Keamanan Nasional. 8(1).
Purwaka, Tommy Hendra. (2011). Penafsiran, Penalaran dan Argumentasi Hukum yang Rasional. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. 40(2), 117-122. 10.14710/mmh.40.2.2011.117-122.
Susanto, Sri Nur Hari. (2020). Metode Perolehan dan Batas-Batas Wewenang Pemerintahan. Administrative Law & Governance Journal. 3(3), 330-341. https://doi.org/10.14710/alj.v3i3.430%20-%20441
Taqiuddin, Habibul Umam. (2017). Penalaran Hukum (Legal Reasoning) dalam Putusan Hakim. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan. 1(2), 191-199. http://dx.doi.org/10.58258/jisip.v1i2.343